Bank Indonesia (BI) mewacanakan rencana redenominasi rupiah atau dengan
kata lain pengurangan nilai pecahan rupiah tanpa mengurangi nilai dari
uang tersebut. Misalnya jika sekarang pecahan Rp 1.000 maka setelah
di-redenominasi pecahannya diubah menjadi Rp 1 namun nilai dari uang
tersebut tidak berkurang.
Misalnya jika sekarang gaji Anda sebagai karyawan Rp 3.000.000 per bulan maka setelah di-redenominasi maka gaji akan menjadi Rp 3.000 per bulan. Namun gaji sebesar itu tetap bernilai sama. Misalnya untuk Rp 3.000.000 bisa membeli sebuah komputer maka setelah di-redenominasi maka Rp 3.000 tetap bisa digunakan untuk membeli komputer yang sama.
Isu panas ini muncul dari Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di Jakarta akhir pekan lalu. Darmin mengatakan, saat ini BI tengah menggodok wacana mengenai redenominasi nilai tukar rupiah. "BI sedang menyiapkan sejumlah hal agar nilai Rp 1 itu lebih berarti," ujar Darmin.
Ia menambahkan, rencana redenominasi nilai tukar ini nantinya akan dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah dan DPR. "Harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat baru nanti kita sosialisasikan," jelasnya.
Dalam redenominasi, akan ada pemotongan angka nol pada nilai mata uang. Pemotongan nol biasanya tiga buah di belakang. Misalnya pecahan Rp 100.000 dipangkas 3 angka nolnya akan menjadi Rp 100.
Tapi Darmin mengatakan belum bisa memutuskan berapa jumlah angka nol yang akan dipotong. "Belum bisa diputuskan sekarang berapa angka nol yang akan dikurangi, apakah tiga atau empat. Namun, hasil pembahasan akan diusahakan disampaikan ke pemerintah tahun ini," janji mantan Dirjen pajak ini.
Bank sentral merasa perlu melakukan redenominasi karena seperti kita ketahui uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.
Beda dengan Sanering
Dikonfirmasi terpisah soal itu, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan nantinya redenominasi berbeda dengan sanering jaman dulu karena perlu dihindari dampak yang merugikan masyarakat.
"Redenominasi butuh waktu dan persiapan yang lama dan matang termasuk sosialisasinya dan harus betul-betul berdasarkan kebutuhan masyarakat dan ekonomi. Sehingga dirasakan manfaatnya. Sehingga sampai sekarang masih merupakan kajian riset di BI saja," kata Difi, Senin (2/8).
Menurut dia di banyak negara yang sukses melakukan redenominasi, hanya dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil dan renda karena di negara negara tersebut, intinya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran saja tanpa menimbulkan dampak bagi ekonomi. "Syarat keberhasilan lainnya adalah persepsi dan pemahaman masyarakat yang mendukung yang didasarkan akan kebutuhan riil masyarakat," kata dia.
Menurutnya, penerapan redenominasi itu butuh waktu transisi sedikitnya lima tahun dan selama itu pedagang wajib mencantumkan label dalam dua jenis mata uang yakni uang lama yang belum dipotong dan uang baru (yang nolnya udah dipotong) sehingga tercipta kontrol publik.
Menurut Deputi Gubernur BI Budi Rochadi, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin melakukan penyederhanaan satuan nilai tukar.Tiga persyaratan itu adalah kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga rendah, dan adanya jaminan stabilitas harga.
Selain itu, untuk melakukan redenominasi nilai tukar juga dibutuhkan penarikan uang yang beredar di masyarakat secara bertahap. "Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisai kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa," jelasnya.
Bankir Minta Hati-hati
Para bankir menilai, bank sentral harus berhati-hati melakukan redenominasi mata uang rupiah. Pasalnya, kebijakan ini bakal memiliki efek yang sangat besar bagi industri perbankan. Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aviliani mengatakan, rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi.
Perbankan harus melakukan investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI). "TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang tersebut," ujarnya. Ia juga memperkirakan, BI juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru. "Pencetakan uang selalu menguras anggaran BI," jelas Aviliani.
Ia menyarankan, redenominasi dilakukan ketika Indonesia menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, Indonesia bisa menyamakan nilai rupiah dengan mata uang negara-negara ASEAN. "Saat ini belum tepat karena krisis ekonomi di Eropa belum benar-benar berlalu dan sektor riil di Indonesia belum bergerak," tandas Aviliani
Direktur Utama Bank BNI Gatot Suwondo sependapat dengan Aviliani. "Untuk penerapan TI dan mematangkannya butuh waktu yang tidak sebentar," ujar Gatot. Menurut dia, redenominasi rupiah harus dibarengi pembangunan persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
"Jangan sampai persepsi yang timbul adalah pemotongan nilai mata uang, yang membuat masyarakat menarik dana mereka dari bank dan melakukan investasi ke luar negeri," tambahnya.
Timbul Gejolak
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengimbau wacana redenominasi jangan sampai menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. Kesiapan masyarakat menjadi poin penting bagi bank sentral sebelum menyampaikan kepada pemerintah dan presiden.
"Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Akhsanul Qasasi, Senin (2/8).
Akhsanul mengatakan sebelum disampaikan kepada pemerintah mengenai redenominasi, Bank Indonesia harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Misalnya melalui seminar, road show ke kampus-kampus, sosialisasi dan pemberitahuan terlebih dahulu. "BI jangan gegabah tiba-tiba langsung disampaikan kepada pemerintah. Masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu," katanya.
Kesiapan masyarakat juga diperlukan karena tanpa kesiapan masyarakat maka bisa-bisa terjadi gejolak ekonomi dimana terjadi kepanikan di masyarakat. "Hal tersebut berbahaya, karena masyarakat tidak mengerti dan jangan sampai disalahartikan seperti sanering," tambahnya.
Politisi dari Partai Demokrat ini menambahkan, BI diminta untuk melakukan kajian intensif dampak redenominasi pada stabilitas ekonomi. Hal ini dikarenakan apapun yang berhubungan dengan uang termasuk nilai serta fungsinya sangat sensitif. Oleh karena itu menurutnya masalah redenominasi jangan terlalu terburu-buru.
"Tiba-tiba disampaikan kepada pemerintah tahun ini juga, redenominasi tidak boleh terburu-buru Waktu Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BI-pun tidak ada wacana redenominasi yang disampaikan ke DPR," tegasnya. [tk/ris]
Misalnya jika sekarang gaji Anda sebagai karyawan Rp 3.000.000 per bulan maka setelah di-redenominasi maka gaji akan menjadi Rp 3.000 per bulan. Namun gaji sebesar itu tetap bernilai sama. Misalnya untuk Rp 3.000.000 bisa membeli sebuah komputer maka setelah di-redenominasi maka Rp 3.000 tetap bisa digunakan untuk membeli komputer yang sama.
Isu panas ini muncul dari Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di Jakarta akhir pekan lalu. Darmin mengatakan, saat ini BI tengah menggodok wacana mengenai redenominasi nilai tukar rupiah. "BI sedang menyiapkan sejumlah hal agar nilai Rp 1 itu lebih berarti," ujar Darmin.
Ia menambahkan, rencana redenominasi nilai tukar ini nantinya akan dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah dan DPR. "Harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat baru nanti kita sosialisasikan," jelasnya.
Dalam redenominasi, akan ada pemotongan angka nol pada nilai mata uang. Pemotongan nol biasanya tiga buah di belakang. Misalnya pecahan Rp 100.000 dipangkas 3 angka nolnya akan menjadi Rp 100.
Tapi Darmin mengatakan belum bisa memutuskan berapa jumlah angka nol yang akan dipotong. "Belum bisa diputuskan sekarang berapa angka nol yang akan dikurangi, apakah tiga atau empat. Namun, hasil pembahasan akan diusahakan disampaikan ke pemerintah tahun ini," janji mantan Dirjen pajak ini.
Bank sentral merasa perlu melakukan redenominasi karena seperti kita ketahui uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.
Beda dengan Sanering
Dikonfirmasi terpisah soal itu, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan nantinya redenominasi berbeda dengan sanering jaman dulu karena perlu dihindari dampak yang merugikan masyarakat.
"Redenominasi butuh waktu dan persiapan yang lama dan matang termasuk sosialisasinya dan harus betul-betul berdasarkan kebutuhan masyarakat dan ekonomi. Sehingga dirasakan manfaatnya. Sehingga sampai sekarang masih merupakan kajian riset di BI saja," kata Difi, Senin (2/8).
Menurut dia di banyak negara yang sukses melakukan redenominasi, hanya dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil dan renda karena di negara negara tersebut, intinya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran saja tanpa menimbulkan dampak bagi ekonomi. "Syarat keberhasilan lainnya adalah persepsi dan pemahaman masyarakat yang mendukung yang didasarkan akan kebutuhan riil masyarakat," kata dia.
Menurutnya, penerapan redenominasi itu butuh waktu transisi sedikitnya lima tahun dan selama itu pedagang wajib mencantumkan label dalam dua jenis mata uang yakni uang lama yang belum dipotong dan uang baru (yang nolnya udah dipotong) sehingga tercipta kontrol publik.
Menurut Deputi Gubernur BI Budi Rochadi, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin melakukan penyederhanaan satuan nilai tukar.Tiga persyaratan itu adalah kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga rendah, dan adanya jaminan stabilitas harga.
Selain itu, untuk melakukan redenominasi nilai tukar juga dibutuhkan penarikan uang yang beredar di masyarakat secara bertahap. "Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisai kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa," jelasnya.
Bankir Minta Hati-hati
Para bankir menilai, bank sentral harus berhati-hati melakukan redenominasi mata uang rupiah. Pasalnya, kebijakan ini bakal memiliki efek yang sangat besar bagi industri perbankan. Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aviliani mengatakan, rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi.
Perbankan harus melakukan investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI). "TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang tersebut," ujarnya. Ia juga memperkirakan, BI juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru. "Pencetakan uang selalu menguras anggaran BI," jelas Aviliani.
Ia menyarankan, redenominasi dilakukan ketika Indonesia menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, Indonesia bisa menyamakan nilai rupiah dengan mata uang negara-negara ASEAN. "Saat ini belum tepat karena krisis ekonomi di Eropa belum benar-benar berlalu dan sektor riil di Indonesia belum bergerak," tandas Aviliani
Direktur Utama Bank BNI Gatot Suwondo sependapat dengan Aviliani. "Untuk penerapan TI dan mematangkannya butuh waktu yang tidak sebentar," ujar Gatot. Menurut dia, redenominasi rupiah harus dibarengi pembangunan persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
"Jangan sampai persepsi yang timbul adalah pemotongan nilai mata uang, yang membuat masyarakat menarik dana mereka dari bank dan melakukan investasi ke luar negeri," tambahnya.
Timbul Gejolak
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengimbau wacana redenominasi jangan sampai menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. Kesiapan masyarakat menjadi poin penting bagi bank sentral sebelum menyampaikan kepada pemerintah dan presiden.
"Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Akhsanul Qasasi, Senin (2/8).
Akhsanul mengatakan sebelum disampaikan kepada pemerintah mengenai redenominasi, Bank Indonesia harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Misalnya melalui seminar, road show ke kampus-kampus, sosialisasi dan pemberitahuan terlebih dahulu. "BI jangan gegabah tiba-tiba langsung disampaikan kepada pemerintah. Masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu," katanya.
Kesiapan masyarakat juga diperlukan karena tanpa kesiapan masyarakat maka bisa-bisa terjadi gejolak ekonomi dimana terjadi kepanikan di masyarakat. "Hal tersebut berbahaya, karena masyarakat tidak mengerti dan jangan sampai disalahartikan seperti sanering," tambahnya.
Politisi dari Partai Demokrat ini menambahkan, BI diminta untuk melakukan kajian intensif dampak redenominasi pada stabilitas ekonomi. Hal ini dikarenakan apapun yang berhubungan dengan uang termasuk nilai serta fungsinya sangat sensitif. Oleh karena itu menurutnya masalah redenominasi jangan terlalu terburu-buru.
"Tiba-tiba disampaikan kepada pemerintah tahun ini juga, redenominasi tidak boleh terburu-buru Waktu Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BI-pun tidak ada wacana redenominasi yang disampaikan ke DPR," tegasnya. [tk/ris]
0 Comentar:
Post a Comment
TERIMAKASIH Juragan. :X :X
Saran dan kritik selalu saya harapkan untuk kemajuan blog ini , Dilarang Spam , No SARA
Jangan Lupa Para Agan Untuk Ngasih Informasi Jika Link - Link Download Sudah di Delete Agar Koleksiku Bisa Memperbarui :)]